
BBCMedia News – Mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan rencananya untuk memberlakukan tarif tambahan sebesar 10% pada barang impor dari China. Keputusan ini menandai eskalasi lebih lanjut dalam kebijakan perdagangannya, yang sebelumnya telah mengenakan tarif minimal 10% pada barang-barang asal China sejak awal bulan ini.
Selain itu, Trump juga menegaskan bahwa tarif 25% untuk impor dari Meksiko dan Kanada akan tetap diberlakukan mulai 4 Maret mendatang. Pernyataan ini muncul ketika pejabat dari kedua negara sedang berada di Washington untuk membahas langkah-langkah guna mencegah tarif tersebut.
Tekanan pada Meksiko dan Kanada
Sebelumnya, Trump mengancam akan menerapkan tarif 25% pada impor dari Meksiko dan Kanada sejak 4 Februari, kecuali kedua negara tersebut meningkatkan keamanan perbatasan mereka. Namun, rencana itu ditunda selama satu bulan setelah kedua negara sepakat untuk meningkatkan pendanaan perbatasan dan berdiskusi lebih lanjut tentang cara menekan perdagangan narkoba.
Namun, dalam pernyataan terbarunya di media sosial, Trump menyebut bahwa upaya yang dilakukan masih belum cukup. Ia menyoroti tingginya arus masuk fentanyl ke AS dan menuduh bahwa sebagian besar produksi narkoba ini berasal dari China.
Presiden Meksiko, Claudia Sheinbaum, menanggapi pernyataan Trump dengan mengatakan bahwa negaranya tetap terbuka untuk negosiasi guna mencapai kesepakatan sebelum 4 Maret. Sementara itu, Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau, memperingatkan bahwa jika tarif diberlakukan, Kanada akan memberikan respons yang kuat dan cepat terhadap kebijakan tersebut.
Tarif ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengusaha dan ekonom, karena ekonomi Amerika Utara telah terintegrasi erat selama beberapa dekade melalui perjanjian perdagangan bebas. Jika kebijakan ini diterapkan, Meksiko dan Kanada diperkirakan akan melakukan tindakan balasan dengan mengenakan tarif terhadap barang-barang asal AS.
Dampak Tarif terhadap Ekonomi AS dan China
China, Meksiko, dan Kanada adalah tiga mitra dagang utama AS, yang bersama-sama menyumbang lebih dari 40% total impor AS tahun lalu. Kebijakan tarif tambahan ini diprediksi akan berdampak signifikan terhadap harga barang di AS, termasuk produk teknologi seperti iPhone hingga kebutuhan sehari-hari seperti alpukat.
Trump sebelumnya telah mengusulkan tarif hingga 60% untuk produk China selama kampanye kepresidenannya. Sementara itu, juru bicara Kedutaan Besar China, Liu Pengyu, menegaskan bahwa negaranya telah bekerja sama dengan AS dalam menangani masalah perdagangan narkoba, termasuk pertukaran informasi dan kerja sama dalam penegakan hukum.
- Baca Juga : Miris: Ditengah Meningkatnya Islam Di Negara Yang Satu Ini, Islamofobia Justru Kembali Melonjak
Liu juga memperingatkan bahwa kebijakan tarif sepihak dari AS hanya akan merusak hubungan bilateral dan menghambat upaya kerja sama dalam pemberantasan narkoba.
“Tarif yang diberlakukan secara sepihak oleh AS tidak akan menyelesaikan masalahnya sendiri, juga tidak akan memberikan manfaat bagi kedua negara maupun dunia,” ujar Liu dalam pernyataannya.
Dampak Tarif Tambahan bagi China dan Dunia
Menurut para ekonom, penerapan tarif baru ini akan memberikan dampak yang lebih besar bagi China dibandingkan AS. Meski demikian, kebijakan ini tetap akan membawa konsekuensi ekonomi bagi pelaku bisnis di AS, terutama mereka yang bergantung pada impor dari China.
Sebagai respons atas tarif pertama yang dikenakan AS, China telah memberlakukan tarif balasan terhadap berbagai produk asal AS, termasuk batubara dan mesin pertanian. Langkah terbaru Trump ini berpotensi memicu respons serupa dari Beijing.
Selain dampak langsung pada harga barang, ancaman tarif ini juga diperkirakan akan menurunkan minat investor dan memperlambat pertumbuhan ekonomi di kawasan Amerika Utara.
Meski banyak pihak mengkhawatirkan dampaknya, Trump tetap bersikeras bahwa kebijakan ini tidak akan merugikan ekonomi AS. Namun, para analis memperingatkan bahwa penerapan tarif ini berisiko memicu perang dagang yang lebih luas, yang dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi global.
sumber BBC