
Kasus sengketa tanah karena sertifikat ganda atau Akta Jual Beli (AJB) bermasalah terus menjadi sorotan. Banyak warga menjadi korban karena proses administrasi yang tidak tertib, bahkan disinyalir manipulatif. Di balik kasus ini, peran Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) menjadi kunci. Namun bagaimana bila pejabat tersebut sudah berganti?
BBC MEDIA.NEWS – SUKABUMI – PPAT adalah pejabat umum yang memiliki kewenangan membuat akta otentik untuk transaksi pertanahan. Namun sayangnya, banyak kasus muncul saat akta yang dibuat oleh PPAT lama menimbulkan sengketa—sementara posisi tersebut sudah dijabat orang baru.
//BACA JUGA : SERTIFIKAT WARGA 2 DESA DI SUKABUMI MENJADI JAMINAN DI BANK OLEH KOPRASI DAN TERANCAM TERLELANG
Fenomena sertifikat tanah ganda dan sengketa atas Akta Jual Beli (AJB) yang tumpang tindih menjadi masalah klasik namun terus berulang, khususnya di berbagai daerah seperti Kabupaten dan Kota Sukabumi. Masyarakat kerap menjadi korban dari kelalaian atau ketidakjelasan proses administrasi yang melibatkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik mengenai peralihan hak atas tanah, PPAT memegang peranan sentral dalam menjaga tertib hukum agraria. Namun, apa jadinya bila akta yang diterbitkan justru memicu konflik hukum—terutama ketika pejabat yang menandatanganinya telah digantikan?
//BACA JUGA : DESA SUKAMEKAR KECAMATAN SUKARAJA BANGUN RUKO SENILAI LEBIH SETENGAH MILYAR DARI DANA DESA
Menurut regulasi, tanggung jawab hukum tetap melekat pada PPAT yang menandatangani akta, meskipun ia sudah pensiun atau berpindah. Akan tetapi, dalam praktiknya, menelusuri keberadaan mantan PPAT sering terkendala oleh tidak adanya sistem dokumentasi yang baik dan terintegrasi.
PPAT baru secara hukum tidak bertanggung jawab atas akta yang dibuat pejabat sebelumnya. Hal ini membuat warga yang mencari keadilan sering menemui jalan buntu.
//BACA JUGA : PKBM GHIDAUL ATHFAL SUBANG JAYA KOTA SUKABUMI DIDUGA BERIKAN KETERANGAN TIDAK AKURAT
Kementerian ATR/BPN didesak untuk membenahi sistem digitalisasi akta dan transparansi rekam jejak PPAT. Selain itu, audit berkala dan pelatihan etika profesi sangat dibutuhkan untuk meminimalkan celah manipulasi.
Fenomena sertifikat ganda tidak hanya soal tanah, tapi soal kepercayaan publik pada sistem hukum agraria di Indonesia. Jangan sampai rakyat terus menjadi korban dari warisan administrasi yang tidak akuntabel.
SOMDANI/INDRA